Saturday, January 5, 2008

KILOMETER NOL (2): MELIHAT SABANG DARI KILOMETER NOL

KILOMETER NOL (2): MELIHAT SABANG DARI KILOMETER NOL



Image hosted by Photobucket.com

KILOMETER NOL REPUBLIK INDONESIA, SABANG-NANGGROE ACEH DARUSSALAM



Image hosted by Photobucket.com

DARI SISI SEBELAH KIRI TUGU KILOMETER NOL REPUBLIK INDONESIA TERLIHAT PEMANDANGAN KE ARAH SAMUDERA HINDIA, DARI KEJAUHAN TERLIHAT PULAU BREUEH.



MELIHAT SABANG DARI KILOMETER NOL



DARI KILOMETER NOL SABANG-REPUBLIK INDONESIA

Konon kisahnya dahulu kala, Pulau Weh itu sebenarnya bersatu dengan Pulau Sumatera. Namun dalam sebuah gempa bumi dahsyat, keduanya terpisah seperti kondisi sekarang yang berjarak 18 mil! Akibat gempa itu lagi, Pulau Weh menjadi tandus dan gersang.
Lalu ada seorang putri jelita di Pulau Weh yang meminta pada Tuhan agar Pulau Weh tidak gersang. Ia lalu membuang seluruh perhiasannya ke laut sebagai "kaulnya". Kemudian hujan pun turun, disusul gempa bumi. Akhirnya terbentuklah sebuah danau yang kemudian diberi nama Aneuk Laot di tengah-tengah pulau itu. Putri itu sendiri kemudian terjun ke laut.
Tak usah dipermasalahkan benar-tidaknya, sebab namanya saja legenda. Tetapi yang pasti Danau Aneuk Laot seluas 30 hektar itu masih ada hingga sekarang. Dengan kapasitas air 7 juta ton, danau itu menjadi sumber air minum utama penduduk Sabang. Sementara sumber cadangan air datang dari empat danau lagi, Danau Paya Seunara, Paya Karieng, Paya Peuteupen dan Paya Seumesi.
Halnya laut lokasi terjun dan tempat buangan perhiasan dan Sang Putri di sekitar Pantai Iboih dekat Pulau Rubiah, menjadi taman laut yang indah dengan hiasan utama terumbu karang dan ikan warna-warni. Keindahan itu jadi alasan utama kedatangan putri-putri jelita modren dari Jepang, Eropa dan Amerika. Sajian tubuh setengah telanjang mereka di tepian pantai, lantas menjadi alasan kedua bagi kedatangan turis domestik.
Begitulah, Sabang menjadi sebuah tujuan wisata dengan beragam keindahan. Banyak orang lantas memperbandingkannya dengan Bali, Bunaken dan Pantai Senggigi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pengandaian itu tidak terlalu berlebihan. Sabang memiliki sejumlah objek wisata mengagumkan dan layak dinyatakan: Sabang, the new terminology of paradise.
Objek wisata itu berjejer rata mulai dari Tugu Kilometer Nol (KM-0) Indonesia hingga ke kawasan Pantai Iboih, Pantai Gapang, Pantai Kasih, Pantai Pasir Putih, Pantai Sumur Tiga, Pantai Anontam, Pantai Tapak Gajah atau Pantai Lhung Angen. Bisa juga mendatangi Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Rondo dan Pulau Seulako. Menyaksikan alam bawah laut menjadi kenangan tersendiri. Nuansa sedikit berbeda terdapat di gua, Air Terjun Pria Laot dan Benteng Jepang. Tinggal pilih.
Mulai Dari Tugu
Kendati punya banyak objek wisata, umumnya wisatawan yang datang ke Sabang, terutama wisatawan domestik, pertama-tama akan menyempatkan diri mendatangi Tugu Kilometer Nol (KM-0) Indonesia. Pulau Weh, merupakan pulau paling barat daratan Indonesia. Tugu ini menjadi batas penghitungan setiap jengkal wilayah Indonesia hingga ke Merauke di Papua. Dengan nilai penting semacam ini, pengunjung merasa perlu datang. Apalagi Sabang memberikan sertifikat bagi pengunjung yang sampai kemari.
“Saya khawatir nanti tidak sempat kalau tidak didahulukan. Lagipula tandanya Kota Sabang itu ya tugu ini,” kata Andi Lubis (30) fotografer asal Medan.
Tugu KM-0 itu sendiri berada dalam areal Hutan Wisata Sabang di Ujong Ba'u, Kecamatan Sukakarya. Bentuknya berupa sebuah bangunan bundar warna putih berlantai dua. Tinggi sekitar 15 meter dengan beberapa undakan. Di lantai pertama, terdapat sebuah pilar bulat yang sayangnya sudah rusak dijahili orang-orang tidak bertanggung jawab, sehingga sulit diketahui bentuk awalnya. Di dinding bangunan menempel prasasti peresmian tugu yang ditandatangani Wakil Presiden Try Sutrisno di Banda Aceh, ibukota NAD, pada 9 September 1997.
Sementara di lantai dua atas yang terbuka, terdapat dua prasasti. Prasasti pertama ditandatangani Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BPP Teknologi BJ. Habibie, pada 24 September 1997. Isinya menjelaskan bahwa penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia itu diukur para pakar BPP Teknologi dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Sementara prasasti kedua menjelaskan dalam angka-angka, posisi geografis itu, yakni 050 54’ 21. 42” Lintang Utara dan 950 13’ 00.50” Bujur Timur, dengan ketinggian 43,6 meter.
Nah, di seberang jalan tugu tersebut, terdapat batu penanda jarak berwarna kuning seperti biasa terlihat di pinggir jalan. Bedanya di situ tertulis angka nol. Hal yang tak lazim dijumpai pada batu penanda jarak lainnya.
Tidak semua pengunjung Sabang pernah sampai di tugu ini. Akhmad Sutrisno (50) misalnya. Pegawai perusahaan percetakan di Banda Aceh ini mengaku sering ke Sabang, namun baru April lalu sempat datang ke tugu. Padahal hanya 30 km dari pusat kota.
Sebagai sebuah objek wisata, tugu KM-0 sudah memadai. Pepohonan tertata rapi, pelindung dari sengat matahari saat duduk di halte sambil memandang ke arah Lautan Hindia. Karena Weh merupakan daratan paling ujung, maka tidak akan ada pulau penghalang pandangan hingga ke Kepulauan Nicobar di India. Tentu saja mata telanjang tidak akan bisa melihat Kepulauan Nicobar, sebab jaraknya ratusan mil dari Sabang.
Menjelang malam, cukup menyenangkan menyaksikan matahari terbenam. Bola matahari berwarna jingga, kemudian berubah merah menyala di antara awan tipis, lantas “turun” ke laut yang juga menjadi merah.
Sayangnya keindahan tugu KM-0 terganggu akibat sejumlah coretan, termasuk di prasasti. Sehingga pengunjung yang ingin mengabadikan kenangan di prasasti dan tugu harus puas dengan hasil foto yang jorok.
“Maklum, ini kan masih di Indonesia,” kata Qomariah (32), wanita asal Kota Lhokseumawe yang menyatakan puas berkunjung ke tugu, walau kecewa.
Pesona Iboih
Pantai Iboih merupakan pantai paling populer. Seperti halnya tugu KM-0, tidak sah mengunjungi Sabang jika tak singgah di Iboih. Walau sebenarnya keindahan pantai merupakan pemandangan dominan di Sabang, tetapi Iboih yang berada di areal sekitar 1.300 hektar di Desa Iboih, Kec. Sukakarya ini punya pesona unik. Iboih merupakan pantai pertama dijumpai setelah mengunjungi tugu. Jarak antara keduanya enam kilometer.
Di Iboih yang teduh dan sejuk, air laut menghijau hingga ke tepian pantai. Sembari menunggu makan siang dengan menu sea food di beberapa warung sederhana yang berjejer rapi di tepian pantai, pengunjung bisa memuaskan diri dengan mandi air laut. Sewa peralatan snorkling hanya Rp 10 ribu sekali pakai, dengan jaminan kartu identitas.
Jangan khawatir jika tidak bisa berenang. Ada tali tambang di dalam laut tempat bergelayut hingga agak ke tengah. Jika mampu, tidak masalah berenang sekitar 150 meter dari Iboih ke Pulau Rubiah. Pulau itu persis di depan Iboih sehingga bisa dilihat keindahannya dari tepian pantai.
Pulau Rubiah sendiri sebenarnya merupakan kawasan taman bawah air seluas 2.600 hektar. Pengunjung dapat menyeberang dan menginap di pulau ini. Selalu ada boat dengan biaya antar-jeput Rp 100 ribu. Kalau mau mengelilingi pulau, sewa kapal Rp 200 ribu.
Di tengah pengelilingan, boat akan berhenti sejenak. Pemilik boat kemudian menurunkan kotak kaca, sehingga dari kotak kaca itu penumpang dapat melihat ikan warna-warni berseliweran di antara terumbu karang di kedalaman antara 5 hingga 10 meter.
Terumbu karang merupakan primadona wisata Sabang. Sejumlah turis biasa melakukan aktifitas selam (diving). Saat ini ada tiga operator diving di Sabang, yakni Pulau Weh Diving Centre dan Rubiah Tirta Divers di Iboih, serta Lumba-lumba Diving Centre di Pantai Gapang, sekitar 10 kilometer dari Iboih.
Mereka bisa memandu ke lokasi penyelaman paling menarik dengan bayaran US$ 20 atau sekitar Rp 200 ribu jika dikalikan kurs Rp 10 ribu. Namun Jika memang belum memiliki lisensi, terpaksa membayar US$ 225 untuk biaya kursus singkat pemula atau oven water diver.
“Kursus hingga lima hari dengan instruktur yang berlisensi dari Profesional Association of Diving Instructor (PADI). Jika dibutuhkan, kita juga bisa memberi pelatihan untuk kelas adventure diver seharga US$ 125 dan dive master dengan tarif antara 550 hingga 750 dolar Amerika Serikat yang bisa dibayar dengan rupiah dengan kurs harian,” kata Udi M Djamil (30), Manager Operasional Lumba-lumba Diving Centre yang berdiri sejak tahun 1998.
Setiap empat penyelam biasanya didampingi seorang instruktur. Lantas dengan boat bersama-sama menuju lokasi penyelaman. Sedikitnya anggota tim memang sengaja dibatasi untuk memaksimalkan penyelaman dan pengawasan keselamatan turis. Apalagi di beberapa daerah penyelaman, arus air cukup deras.
Udi yang juga instruktur berlisensi PADI pertama di Sabang menyatakan, ada 20 lokasi penyelaman. Antara lain Arus Balele, Seulako’s Drift, Pantee Kleu, Rubiah Sea Garden, Batee Tokong dan Pantee Aneuk Seuke Canyon dan Pantee Panneuteung.
Sejumlah penyelam mengklaim, taman-taman bawah air itu setara dengan yang terdapat di Long Island, Maldives (Maladewa) di selatan India, Nusa Penida di Bali maupun di perairan Maluku. Namun Pulau Rubiah lebih unggul sebab memiliki banyak biota laut yang di negara-negara lain telah langka atau telah punah. Di antaranya ketam kelapa (Bigus latro), kima raksasa (Tridacna gigas), ikan bulu ayam (Lion fish). Selain itu juga kaya dengan tumbuhan ganggang serta terumbu karang warna-warni.
Keindahan plus keunikan itu membuat para penyelam merasa perlu datang secara khusus. Misalnya Maret lalu, 15 turis asal Jerman khusus datang ke Sabang untuk melakukan diving dan berada di Sabang sekitar dua minggu di sekitar kantor Lumba-lumba Diving Centre di Pantai Gapang.
Menurut Udi, jika diambil rata-rata, bisa dikatakan terdapat lima turis yang datang setiap hari khusus untuk menyelam. Turis-turis asing itu tidak berpengaruh terhadap situasi Aceh yang memanas sejak status Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh dan belakangan suhunya meningkat lagi karena pemerintah berencana memberlakukan operasi militer.
“Saya kira tidak ada masalah dengan kondisi Aceh. Saya mengetahui dari koran-koran dan televisi tentang gangguan keamanan dan politik di Aceh. Namun kondisi itu berbeda dengan pengalaman saya selama di Sabang,” kata Tom Radio (29). Lajang asal Amerika Serikat ini datang bersama pacarnya.
Pernyataan senada disampaikan Tania (34), asal Stutgart, Jerman yang sudah beberapa bulan tinggal di Sabang. “Saya sudah merekomendasikan kepada kawan-kawan dan keluarga untuk berlibur di sini. Bahkan sekarang, orang tua dan saudara-saudara saya juga berada di Sabang bersama saya,” ujar Tania.
Menurut Udi, satu-satunya ancaman bagi keindahan terumbu karang itu datang dari kapal nelayan yang mengoperaskan penangkap ikan jenis pukat harimau. Sistem kerja kapal ini, menebar jala berikut pemberat besi yang akan menyapu hingga ke dasar laut. Akibatnya terumbu karang yang butuh waktu puluhan tahun untuk tumbuh, hancur sebentar saja. Dengan begitu muncul kesan nelayan tidak mempedulikan kondisi ekologis laut.
“Sebetulnya ubur-ubur berduri juga memakan terumbu karang, tetapi ancaman terbesar dari pukat harimauini. Jika pemerintah tidak segera ambil peduli, aset pariwisata Sabang akan hancur,” tukas Udi.
Tumpuan Harapan
Dengan semua pesona yang dimilikinya, wajar saja Sabang diharapkan menjadi penarik utama kunjungan turis ke Aceh. Kawasan Wisata Terpadu Sabang, menurut Gubernur Abdullah Puteh, akan ditempatkan dalam satu triangle bonded area yaitu mendekatkan Sabang dengan Phuket (Thailand) dan Langkawi (Malaysia) atau biasa disingkat Saphula.
Agaknya mereka yang belum pernah ke Sabang, lebih baik melekaskan diri datang. Keindahan Sabang sekarang ini belum tentu bisa disaksikan lima tahun ke depan. Kondisi gangguan keamanan di Aceh, serta status sebagai pelabuhan bebas bisa menjadi ancaman.
Pelabuhan bebas berarti pembangunan kian pesat yang akan menghabiskan ruang dan menambah kesumpekan. Jika tak awas sejak kini, Sabang akan bergerak linier seperti Batam. Semua bersentral pada industri, produksi dan polusi. Sehingga tak akan ada lagi slogan: Sabang, the new terminology of paradise.




SABANG TIGA KALI MENJADI PELABUHAN BEBAS (FREEPORT / VRIJ HAVEN)

Sabang tahun 1881, telah dikenal sebagai pelabuhan laut internasional yang strategis. Bahkan menurut penelitian angkatan bersenjata Amerika Serikat, hingga kini Sabang merupakan salah satu dari lima pelabuhan terbaik di dunia, bisa dilewati lebih dari 500 super tanker.
Posisi stategis itu karena Sabang yang terletak di Pulau Weh, berada di persimpangan Laut Indonesia di sebelah barat dan utara, Teluk Benggala di sebelah selatan dan Selat Malaka di sebelah timur. Berdekatan dengan Thailand, Langkawi, Malaysia, Sri Lanka, Myanmar, Bangladesh, Thailand dan bahkan Langsung ke Uni Emirat Arab.
Pada masa itu pelabuhan alam Sabang, sudah mulai sering disinggahi kapal asing untuk urusan logistik, terutama air tawar yang bersumber dari Danau Anouk Laotdan masih menjadi sumber air utama di Sabang hingga kini. Catatan yang ada menunjukkan, Sabang satu-satunya pelabuhan bebas (Pelbas) di kawasan Asia Tenggara yang tetap disinggahi pelayaran besar yang melintasi Selat Melaka atau Samudera Indonesia (Lautan Hindia).
Kondisi itu membuat perdagangan lokal Sabang maju pesat. Arus urban pun terjadi. Malahan kuat dugaan hampir semua penduduk Sabang awalnya merupakan pendatang, terutama dari Aceh daratan. Diyakini, nama Sabang sendiri berasal dari kata Saban, bahasa Aceh yang berarti sama. Kesamaan itu justru datang dari keragaman etnik, namun sama-sama pendatang di Pulau Weh. Sebab itu juga makanya tidak ada tanah adat di Sabang.
Seiring dengan masuknya Belanda ke bumi Aceh, maka Sabang juga tak luput dari incaran. Pelabuhan itu difungsikan untuk melayani kebutuhan bahan bakar berupa batu bara dan logistik bagi kapal laut dan belakangan menjadi pangkalan Angkatan Laut Belanda.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1887 Belanda mengizinkan Firma Delange dibantu Sabang Haven untuk membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan berupa sebuah dok besar dan dermaga yang panjang dan luas untuk tempat kapal bersandar dan naik dok (perbaikan). Perbaikan fasilitas itu sendiri berkaitan dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda mengirim batubara ke negerinya atau menjual ke negara lain. Lebih dari 25 ribu ton berhasil dikirim. Karena fungsi awalnya itu, makanya Belanda menyebut pelabuhan Sabang sebagai Kolen Station, stasiun batubara.
Pada tahun 1895, Sabang resmi menjadi pelabuhan bebas (vrij haven) dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Inilah masa pertama sekali Sabang menjadi Pelbas. Kapal-kapal besar berangkat dari Sabang mengangkut berbagai barang dagangan hasil bumi Aceh ke Eropa dan Afrika dan Timur Tengah, Jepang dan Cina.
Lantas Perang Dunia II mengakhiri status vrij haven tersebut. Bombardir Jepang pada tahun 1942 menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Belanda. Akibatnya banyak perlengkapan dan fasilitas pelabuhan rusak, termasuk beberapa bagian dermaga. Riwayat Sabang vrij haven pun usai karena ditutup pemerintah Jepang.
Bersamaan dengan itu, peta pelayaran internasional pun berubah. Kapal-kapal modern dengan kecepatan tinggi tidak selamanya butuh tambahan logistik di tengah pelayarannya. Produk makanan kaleng, dan berbagai jenis makanan kering nukai mengisi dapur kapal hingga makanan mentah dan segar mulai ditinggalkan. Sabang pun makin sepi tanpa disinggahi kapal pelayaran besar.
Satu Juta Gulden
Pada tahun 1950 Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia seharga satu juta gulden.
Berikutnya, pada 16 Oktober 1963, dengan ketetapan Presiden RI Nomor 10 Tahun 1963 Sabang ditetapkan sebagai Pelbas. Guna mendukung penetapan itu, pemerintah membentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965, lalu mengeluarkan UU Nomor 3 dan 4 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Sabang dan Daerah Perdagangan dengan Pelabuhan Bebas. Sabang pun resmi menjadi Pelbas untuk kedua kali.
Pada zaman vrij haven kedua inilah Sabang kembali berkembang. Pusat perdagangan hasil bumi dan sekaligus pasar terbesar barang-barang impor eks Singapura. Modrenisasi juga melanda Sabang. Sarung palekat Madras, celana jeans merek Lee, Levi’s, Lea, Camel, Wagner atau jeans merek lain buatan Amerika tumpah-ruah.
Namun rupanya masyarakat Sabang kembali harus menelan pil pahit. Kendati dalam UU No 4/1970 disebutkan Pelbas Sabang dibentuk untuk masa 30 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan, namun pemerintah berpendapat lain. Lewat UU Nomor 7 dan 8 Tahun 1985 status Pelbas Sabang dicabut. Selain karena dilihat belum menguntungkan, pemerintah menjadikan masalah penyeludupan sebagai salah satu pertimbangan. Tak berapa lama setelah itu, pemerintah meresmikan Pulau Batam sebagai Pelabuhan Bebas yang baru.
Pada tahun 1997 BPPT memprakarsai berlangsungnya Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dengan fokus kajian mengembangkan kembali Sabang. Pertemuan ini turut mendorong keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 171 Tahun 1998 yang menetapkan Sabang sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Di dalamnya terdapat juga rencana pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Sabang.
Tahun 2000, peluang Sabang kembali menjadi Pelabuhan bebas semakin terbuka setelah terbitnya sejumlah keputusan pemerintah. Pada tahun itu Presiden Abdurrahman Wahid Instruksi Presiden No 2/2000 tanggal 22 Januari 2000 tentang Pembangunan Kawasan Sabang menjadi Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Pada bulan September terbit Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, serta Perpu No 2/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Pada bulan Desember putusan itu dikuatkan dengan terbitnya UU No 36/ 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, serta UU No 37/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang menyatakan Pelbas Sabang berlaku selama 70 tahun, atau akan berakhir pada tahun 2069 nanti. Peresmian dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 22 DESEMBER 2000. Sabang pun kembali menjadi vrij haven untuk yang ketiga kalinya hingga kini.




BANJIR GULA DI SABANG-ACEH


Gula merupakan komoditi sentral yang berimplikasi langsung pada ekonomi masyarakat bawah di Sabang. Di saat harga gula membumbung tinggi di beberapa daerah di Indonesia, di Sabang gula justru berlimpah-ruah.
Ribuan ton gula impor datang dari India, Thailand dan Malaysia. Gula melejit jadi daya tarik ekonomis Sabang. Setiap karung/sak gula yang beratnya 50 kilogram, harganya Rp 121 ribu jika diambil dari agen dengan jumlah banyak, atau rata-rata Rp Rp 2.400 per kilogram. Bandingkan dengan harga gula di Aceh daratan yang mencapai Rp 4.500. Perbedaan harga ini membuat orang-orang Aceh daratan berduyun-duyun datang mencari untung.
Sayangnya status Pelabuhan Bebas menutup kemungkinan membawa gula dalam jumlah banyak. Pemerintah hanya mengizinkan setiap orang membawa barang tentengan keluar dari Sabang maksimal 100 kilogram atau senilai 750 dollar AS. Jika keluarga, maka nilai barang tentengan menjadi 1.500 dollar sekali bawa. Nakhoda ferry penyeberangan membolehkan setiap penumpang membawa gula menyeberang ke Pelabuhan Malahayati. Mereka hanya perlu menunjukkan tiket naik kapal agar boleh membawa gula.
“Maksimal seratus kilogram gula per orang. Itu berarti dua sak gula. Lebih dari itu, tidak boleh. Tapi biasanya setiap orang hanya membawa satu sak saja," papar Dahniar, warga Desa Lambada, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar yang khusus pergi ke Sabang membeli gula impor untuk dijual lagi di daratan.
Tapi peraturan ini bisa disiasati. Kemudahan membawa barang tenteng dimanfaatkan para pedagang dengan menggunakan jasa pengunjung Sabang yang akan kembali ke Aceh daratan. Setiap calon penumpang diminta “kebaikan hatinya” untuk menyatakan kepada petugas jaga pintu ferry bahwa dia adalah pemilik gula yang dipanggul buruh angkut di belakangnya. Para pedagang membayar buruh angkut Rp 3 ribu per karung.
Tak jarang pula ada pemaksaan kepada penumpang yang membawa kendaraan untuk menaikkan gula ke dalam mobil atau di atas sepeda motor. Karenanya sering terdengar suara keras pertengkaran calon penumpang dengan calo/pedagang.
Sebenarnya akal bulus ini diketahui petugas. Tentu saja agar tidak jadi masalah, para pedagang memberikan “deviden” untuk pegawai Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) yang mengoperasikan kapal, plus aparat keamanan dan PT Pelabuhan Indonesia di kedua pelabuhan.
“Biasanya mereka membayar Rp 25 ribu kepada nakhoda kapal setiap kali membawa gula. Kapal tidak mungkin membawa banyak, hanya sekitar 400 karung sekali berangkat, yang dimiliki puluhan pedagang atau milik orang kapal sendiri. Jadi setiap hari gula yang masuk ke Aceh Besar sekitar 40 ton, sebab kapal dua kali berangkat setiap hari,” kata Imran (27), buruh angkut di Pelabuhan Balohan.
Begitu sampai di Malahayati, gula sudah bisa dijual Rp 155 ribu kepada penampung yang sudah menyediakan buruh angkut. Mata rantai gula bersambung hingga ke Banda Aceh yang menjadi mata pencaharian baru bagi buruh angkut dan pedagang, serta tambahan uang saku bagi pegawai pemerintahan dan aparat keamanan.
Pasokan gula itu sendiri memang berpengaruh terhadap turunnya harga gula di tingkat eceran. Haarga yang semula Rp 4.500 perkilogram, turun jadi Rp 3.500. Selain itu, gula telah menghidupkan kembali ritme ekonomi di pelabuhan.


BANJIR TURIS ASING DI SABANG

Sabang masa kini terus bergeliat dengan bisnis pariwisata. Sektor ini menggairahkan perekonomian sekitar 12,7 persen dari keseluruhan 24 ribu jiwa penduduk Sabang, terutama yang bergelut di bidang perdagangan, jasa dan angkutan.
”Setidaknya ada 1.500 wisatawan datang ke Sabang setiap minggu,” kata Ridwan, Kepala Bagian Humasy Pemko Sabang, Ridwan.
Dinas Pariwisata Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mencatat selama tahun 2001 jumlah wisatawan ke Aceh sebanyak 323.734 orang. Sementara tahun 2002 hanya 270.920 orang. Namun, jumlah wisatawan yang ke Sabang tahun 2002 ternyata naik dibanding pada tahun sebelumnya. Tahun 2002 mencapai 44.449, sedangkan sebelumnya hanya 39.439 orang.
Tahun ini diperkirakan jumlah turis meningkat, sebab kondisi keamanan semakin kondusif pasca penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Geneva, Swiss, 9 Desember 2002, keamanan semakin stabil. Namun prediksi ini bisa berubah jika pemerintah akhirnya kembali menggelar Operasi Militer.
Bandara Belum Kelar
Kemudahan datang ke Sabang, serta tingginya jaminan rasa aman menjadi alasan utama kedatangan turis. Sayangnya untuk sementara ini masih belum ada jadwal penerbangan reguler dari Banda Aceh, ibukota NAD menuju Sabang. Hanya ada pesawat carteran SMAC (Sabang Merauke Air Charter) biasa datang dua kali seminggu. Namun persiapan menjadi bandara komersil sudah rampung. Landasan pacu Bandara Maimun Saleh Sabang saat ini sebenarnya sudah bisa didarati pesawat jenis Boing 737-200 atau Fokker 27 dan 28. Hanya tinggal menunggu peresmian saja pada tahun ini.
Karena belum ada penerbangan reguler, maka laut menjadi jalur transportasi paling umum. Turis lokal yang membawa kendaraan, biasanya berangkat dari Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Kapal ferry berangkat dua kali sehari dengan jarak tempuh sekitar 2,5 jam. Tiketnya murah, Rp 9 ribu per orang plus Rp 69 ribu untuk mobil jenis minibus.
Sebagian yang ingin cepat, berangkat dari Pelabuhan Ule Lheue, Banda Aceh. Hanya satu jam perjalanan dengan ferry cepat. Tiket Rp 40 ribu. Kendati tidak bisa membawa kendaraan, namun ferry cepat langsung merapat di pelabuhan Pusat Kota Sabang. Sedangkan ferry dari Malahayati merapat ke Pelabuhan Balohan, sekitar 20 kilometer menuju pusat kota. Tarif angkutan kota (angkot) dari Balohan ke pusat kota sekitar Rp 6.000. Kalau menggunakan taksi bisa dicapai sekitar 20 menit dengan harga tawar-menawar, antara Rp 15 ribu hingga 30 ribu.
Jika sudah sampai di pusat kota, tinggal pilih mau menginap di mana. Kebanyakan wisawatan lebih suka menginap langsung di tepian pantai. Tarif sewa cottage per malam antara Rp 100 ribu hingga Rp 350 ribu. Pada momen-momen ramai semacam perayaan tahun baru, ada baiknya datang beberapa hari lebih awal agar dapat memilih penginapan sesuai selera, seperti di kawasan Iboih dan Gapang.
Jika terlambat, terpaksa mencari cottage di pantai kelas dua seperti di Pantai Kasih, Pasir Putih, Sumur Tiga, Tapak Gajah atau Lhung Angen. Tarifnya tidak jauh beda. Untungnya di setiap lokasi ada juga pondok-pondok wisata dengan tarif antara Rp 15 ribu – 50 ribu per malam.
Sabang Fair
Kenikmatan makanan sea food khas Sabang semacam udang, kepiting dan ikan jarang sekali dilewatkan para wisatawan. Harganya relatif murah. Sejumlah tempat, bahkan hingga di tengah kota selalu menyajikan makanan jenis ini. Jika membawa uang sekitar Rp 50 ribu, sudah cukup untuk dua orang.
Sehabis itu, menikmati kehidupan malam di Sabang juga menarik. Malam mingguan, anak muda Sabang biasa berkumpul di kawasan Sabang Fair yang berada di tepian pantai. Ratusan mobil terparkir di sana, hadirkan hingar-bingar dari sound system mobil masing-masing. Tidak kalah nikmat,
Sabang Fair yang berada di Ujung Asam merupakan bangunan megah di areal seluas delapan hektar, dilengkapi berbagai sarana modern. Di tempat itu rencananya setiap tahun dilaksanakan pergelaran atraksi seni budaya, promosi pariwisata dan hasil industri kerajinan masyarakat di Nanggroe Aceh Darusalam. Peserta juga datang dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Sementara propinsi tetangga yang dinyatakan akan ikut berpartisipasi yakni Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Jika even tahunan Sabang Fair sedang tidak berlangsung, rencananya kawasan itu jadi lokasi transaksi perdagangan mobil antarnegara. Sabang memang berdekatan dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Sri Lanka, Myanmar, Bangladesh, Thailand dan bahkan Langsung ke Uni Emirat Arab. Dengan begitu, roda perekomian memang berjalan lancar.
Sayangnya tidak terlalu banyak jenis soevenir bisa diperoleh di Sabang. Hanya baju kaos dengan corak seragam bertuliskan Sabang – Aceh - Indonesia dengan gambar peta Pulau Weh berikut detail lokasi wisata. Dalam bentuk makanan khas, paling dodol khas Sabang dengan rasa tomat atau sirsak.
Selebihnya soevenir bisa diciptakan dengan cara mengabadikan diri. Berfoto bersama semua keindahan Sabang.


BUMI SABANG BANGKIT KEMBALI

Sabtu sore akhir April lalu di dermaga Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kapal Motor Penumpang (KMP) Pulau Rubiah siap-siap akan berangkat menuju Pelabuhan Balohan, Sabang. Persis pukul 18.40 Wib, kapal bergeser pelan dari dinding dermaga. Keberangkatan yang seharusnya pukul 16.00 itu tertunda karena aktifitas bongkar muat cukup lama.


Dari kejauhan, Pulau Weh yang merupakan pusat pemerintahan Kota Sabang, tampak berselimut kabut. Lantas menjelang malam, usai matahari sisakan semburat merah di sebelah barat, mulai terlihat redup cahaya lampu kota. Setelah dua jam, deru mesin ferry menurun seiring berkurangnya kecepatan.
Sedikit memutar, ferry melewati pelan pusaran arus. Di pusaran itu pada 19 Januari 1996, KMP Gurita tenggelam akibat kelebihan muatan dengan korban tewas 338 orang. Seorang warga Taiwan, Wang Sung Tee mendirikan monumen tugu KMP Gurita di pintu masuk Pelabuhan Balohan untuk mengenang sanak keluarganya yang meninggal dunia dalam tragedi tersebut.
Sabang, Banda Aceh - Musibah terbesar sepanjang tahun 1996 terjadi di Teluk Balohan, Sabang. Kapal Motor Penumpang (KMP) Gurita yang mengangkut 378 penumpang, tenggelam ke dasar laut. Dari jumlah penumpang itu, 40 orang dapat diselamatkan, 54 ditemukan tewas dan 284 orang di nyatakan hilang bersama-sama dengan KMP Gurita yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut. Termasuk Assistan II walikota Sabang Drs.M.Nasir beserta istri juga Hilang Tenggelam.

KMP Gurita merupakan alat transportasi utama yang menghubungkan pelabuhan Malahayati, Banda Aceh dan pulau Sabang. Penyebab kapal feri itu tenggelam karena kelebihan muatan. Kapasitas angkutnya hanya untuk sekitar 210 orang. Namun yang diangkut sebanyak 378 orang.
Selain kenangan duka, pusaran arus itu memang menjadi penanda setengah jam lagi kapal akan merapat. Mercusuar sudah kelihatan 15 menit sebelumnya. Keramaian juga sudah berlangsung di dalam kabin penumpang. Para pemilik kendaraan segera turun ke dek bawah, masuk dalam kendaraan.
Saat ramp door-nya terbuka sekitar pukul 20.30, tak kurang 400 penumpang turun berikut lebih tak lebih dari 40 unit kendaraan roda dua dan belasan kendaraan roda empat campuran yakni mobil dan truk. Artinya, ferry ini juga sudah kelebihan muatan. Memang tidak begitu parah, sebab seharusnya kapal ini membawa 300 penumpang saja.
Kepadatan penumpang dapat dimaklumi sebab hanya dua kapal melayani jalur ini. KMP Tanjung Burang yang berkapasitas 500 penumpang dan mampu membawa 60 kendaraan roda dua berikut 24 kendaraan roda empat campuran, telah berangkat pukul 14.00, telat dua jam karena masalah bongkar muat juga.
Kelebihan penumpang kerap terjadi setiap akhir pekan, sejak Sabang ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas (Pelbas) melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (free port) yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid pada 21 Desember 2000.
Dengan status Pelabuhan Bebas itu, artinya, kawasan ini terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai. Simpelnya, semua barang impor ke Sabang tidak terkena biaya apapun.
Status baru ini membuat banyak perubahan di Kota Sabang yang luasnya 153 kilometer persegi itu, termasuk Pulau Klah, Pulau Rondo, Pulau Rubiah dan Pulau Seulako. Kendati sebenarnya Pelbas Sabang juga mencakup Pulau Breuh, Pulau Nasi dan Pulau Teunom serta pulau-pulau kecil yang masuk wilayah Kabupaten Aceh Besar, namun pertumbuhan ekonomi lebih berdenyut di pusat Kota Sabang. Sabang memasok mobil dan gula. Sebenarnya terigu, sepeda motor dan mesin industri juga dipasok, tapi belakangan mobil dan gula mencuat dan jadi komoditi sentral, tambahan pula bisnis pariwisata sedang naik daun.
Tak pelak lagi ketiga item ini membuat Sabang mulai dijubeli penduduk migran, terutama dari Aceh daratan dan Sumatera Utara (Sumut). Pada tahun 1998, ketika belum berstatus Pelbas, jumlah penduduk Sabang 22.844 jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan 1,43 persen pertahun, diestimasi jadi 31.515 jiwa pada tahun 2005. Tapi estimasi ini bisa berubah, sebab pertambahan penduduk demikian pesat. Tahun ini saja jumlah penduduk sekitar 24 ribu jiwa.
Kasus Batam mungkin juga akan terjadi di Sabang. Batam bahkan terpaksa menyeleksi ketat penumpang kapal dan pesawat yang masuk ke Batam sebab tidak ingin menambah jumlah migran dan pengangguran. Setiap tahunnya Batam kedatangan tak kurang dari 50 ribu imigran dari daerah sekitarnya.

SABANG DARI UDARA, TERLIHAT DANAU ANEUK LAUT, TELUK SABANG, PULAU KLAH, PULAU RUBIAH SERTA PULAU SEULAKO.
UJUNG PULAU, TERDAPAT KILOMETER NOL, BILA MENGGUNAKAN TEROPONG TERLIHAT JUGA PULAU RONDO DI KEJAUHAN GARIS PANTAI YANG INDAH.


WASSALAM

RACHMAD YULIADI NASIR
rachmad_poltektk93 at yahoo dot com

www.sabangfreeport.blogspot.com
www.rachmadpoltektk93.blogspot.com